KHR. As'ad Syamsul Arifin Mediator Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)

loading...
Berikut ini adalah Teks Terjemahan Transkip Pidato KH As’ad Syamsul Arifin, sebagai bukti sejarah bahwa KH As’ad Syamsul Arifin merupakan Mediator Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), berikut isi pidato beliau :

-------------------------------
Yang akan saya sampaikan pada anda tidak bersifat nasihat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU? tentunya mubaligh-mubaligh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak.  Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini. Umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya’, pelopor-pelopor Rasulullah Saw ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat mazhab, yang empat. Jadi, Ulama, para auliya’, para pelopor Rasulullah Saw masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahlusunah wal jamaah, syariat Islam dari Rasulullah saw yang beraliran salah satu empat mazhab. Khususnya mazhab Syafi’i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Mazhab-mazhab yang lain juga ada. ini termasuk Islam Ahlusunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlisunnah wal jamaah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kiai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kiai Muntaha Jengkebuan menantu Kiai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan:


“Bagaimana Kiai Muntaha? Tolong sampaikan kepada Kiai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadlratusy Syaikh. Tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya”.

Kiai Muntaha berkata:

“Apa keperluannya?”

“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya alquran dan Hadis saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo?  Hal ini kan sudah berjalan di Indonesia. Rupanya kelompok ini berkembang melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. tolong disampaikan pada Kiai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kiai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kiai Kholil menyuruh Kiai Nasib:

“Nasib, Ke sini! Bilang kepada Muntaha, di alquran sudah ada, sudah cukup:

يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai” (at-Taubat: 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta’ala, maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha”.


Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kiai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman.

“Saya puas sekarang” kata Kiai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kiai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Hanya ulama tanah Jawa saja. Mereka bermusyawarah dan berdiskusi. Yang ikut termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), Kiai Sidogiri, Kiai Hasan almarhum, Genggong, dari barat Kiai Asnawi Kudus, ulama-ulama Jombang semua, dan Kiai Thohir.

Para kiai berkata… Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.

Sampai tahun 1923, ada kiai berpendapat: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”,

kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat”.

Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja”.

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi.

Kemudian ada satu ulama yang matur sama kiai:

“Kiai saya menemukan satu sejarah tulisan sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini… (Kiai As’ad berkata: Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)… :

“Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat):

“Islam Ahlisunnah wal Jamaah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Bawa ke Indonesia”.

Jadi di Arab sudah tidak mampu  melaksanakan syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini. Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugaskan ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kiai Wahab, apa Kiai Bisri. Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan. Tahun 1924, Kiai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil:

“As’ad, ke sini kamu!” Asalnya, saya ini mengaji al-quran di pagi hari. Karena saya pelat dan tidak bisa mengucapkan huruf Ra’, saya dimarahi oleh kiai.

“Arrahman Arrahim… “

Kiai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”.

“Tidak saya sengaja Kiai. Saya ini pelat.”

Kiai kemudian keluar… (Kiai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kiai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi:

“Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?”.

“Sudah Kiai”.

“Kesini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?”.

“Tahu”.

“Kok tahu? Pernah mondok disana?”.

“Tidak. Pernah sowan”.

“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan”.

“Ya, kiai”.

“Kamu punya uang?”

“Tidak punya, kiai”.

“Ini”.

Saya diberikan uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya mau berangkat, saya dipanggil lagi:

“Kesini kamu! Ada ongkosnya?”.

“Ada, kiai”

“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”.

Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang.

Kiai keluar:

“Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kiai Kholil membaca surat Thaha: 17-21)…

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannya lah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”

Namanya masih muda, masih gagah–sekarang saja sudah sudah keriput–gagah pakai tongkat, dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel

“Orang ini gila. Muda pegang tongkat”.

Ada yang lain bilang:

“Ini wali”.

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh kiai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok gila karena masih  muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak usah diikuti karena bisa rusak semuanya. Yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kiai. Saya terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kiai Hasyim bertanya):

“Siapa ini?”.

“Saya, Kiai”.

“Anak mana?”.

“Dari Madura, Kiai”.

“Siapa namanya?”

“As’ad”.

“Anaknya siapa?”

“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin”

“Anaknya Maimunah kamu?”

“Ya, Kiai”.

“Keponakanku kamu, Nak”. “Ada apa?”.

“Begini Kiai, saya disuruh Kiai (Kholil) untuk mengantar tongkat”. \

“Tongkat apa?”

“Ini, Kiai”.

“Sebentar, sebentar…”

Ini orang yang sadar. Kiai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas).

“Bagaimana ceritanya?”

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat….

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”

“Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kiai Kholil kepada saya”


Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jamiyah Ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang.

“Mau pulang kamu?”

“Ya, Kiai”.

“Cukup uang sakunya?”

“Cukup, Kiai”

“Saya cukup didoakan saja, Kiai”

“Ya, mari… Haturkan sama Kiai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jamiyah Ulama akan diteruskan”.

Inilah asalnya Jamiyatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kiai Kholil.

“As’ad, kesini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”

“Tidak, Kiai”.

“Hasyim Asy’ari?”

“Ya, Kiai”

“Di mana rumahnya”.

“Tebuireng”.

“Dari mana asalnya?”

“Dari Keras (Kediri). Putranya Kiai Asyari Keras”.

“Ya, benar. Di mana Keras?”.

“Di baratnya Seblak”.

“Ya, kok tahu kamu?”

“Ya, Kiai”.

“Ini tasbih hantarkan”

“Ya, Kiai”.

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari Kiai keluar dari Langgar.

“Ke sini, makan dulu!”

“Tidak, Kiai. Sudah minum wedang dan jajan”.

“Dari mana kamu dapat?”

“Saya beli di jalan, Kiai”

“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”

“Ya, Kiai”.

Saya makan di jalan dimarahi. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya:

“Cukup itu?”

“Cukup, Kiai”

“Tidak!”

Diberi lagi oleh Kiai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi.

Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya:

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar”.

Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir …

“Ini”

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya.

“Kok leher?”

“Ya, Kiai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh”.

“Ya, kalau begitu”.

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu.

“Ini orang yang memegang tongkat itu?”

“Wah.. Hadza majnun”.

Ada yang bilang “wali”, ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kiai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kiai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang minta “karcis! karcis!” Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya kiai. Jadi Auliya’ itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kiai Hasyim tanya:

“Apa itu?”

“Saya mengantarkan tasbih”

“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”

“Ini, Kiai” (dengan menjulurkan leher).

“Lho?”

“Ini, Kiai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kiai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda”.

Kemudian diambil oleh Kiai.

“Apa kata Kiai?”.

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar”. Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur”. Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kiai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama. Ini sudah dibuat. Organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kiai Dahlan dari Nganjuk. Beliau juga yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.

Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan…

( Baca juga: Sikap Zuhud dan Wara’nya KHR. As'ad Syamsul Arifin )

-------------------------------
Sumber:
http://mahad-aly.sukorejo.com/2015/02/teks-terjemahan-transkip-pidato-kh-asad-syamsul-arifin/
https://www.youtube.com/watch?v=NG7MZq6_iE8
Lihat Videonya
"Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)"



loading...
KHR. As'ad Syamsul Arifin Mediator Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Agenda Guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar